Strategi Kehumasan Top 1 Menghalau Isu

Pesatnya pertumbuhan oli Top 1 mengundang munculnya berbagai isu yang merusak citra. Dewa dan wartawan pun diberangkatkan ke AS untuk membuktikan keaslian produknya. Efektifkah?

“Top 1, oli sintetik asli Amrik,” atau “Oli Anda, Top 1 juga kan?” Penggalan iklan ini mungkin sudah sangat akrab di telinga Anda. Betul, sejak tahun 2000, iklan produk pelumas ini memang rajin muncul di layar kaca, terutama setelah pemerintah membuka keran impor pelumas di Indonesia. Konsumen menjadi sangat familier dengan produk ini dan awareness-nya meningkat dahsyat. Kehadiran Top 1 kala itu sekaligus menandai dimulainya iklim persaingan di industri yang lebih dari dua dasawarsa dibesarkan oleh proteksi pemerintah itu.

Kecerdikan Top 1 (baca: Top One) memanfaatkan momentum terbukti memang ampuh. Walau langkahnya membombardir pasar dengan program komunikasi pemasaran berbiaya mahal — pantauan Nielsen Media Research, dari 2001 hingga kini belanja iklan Top 1 selalu berada di atas angka Rp 50 miliar/tahun — ternyata itu sangat signifikan dengan pertumbuhan penjualan ataupun peningkatan citranya. PT Topindo Atlas Asia (TAA) – pemegang merek Top 1 di Indonesia — sangat menyadari, pasar minyak pelumas belum terbentuk. Sehingga, upaya komunikasi yang efektif diyakini dapat menciptakan positioning dan persepsi positif di benak masyarakat. “Waktu itu, banyak orang yang meragukan strategi Top 1,” ungkap Ryan Alfons Kaloh, Kepala Pemasaran TAA.

Hingga tahun ke-6 (2005), Top 1 tidak mengendurkan aktivitas komunikasinya. Bahkan, menurut Nielsen Media Research, pada periode Januari-September 2005 TAA sudah menghabiskan Rp 84 miliar lebih.

Selain agresif beriklan, Top 1 juga berani mengambil langkah-langkah komunikasi yang lain dari yang lain. Salah satunya yang unik, menggunakan testimoni para selebriti. Lebih dari 20 nama orang terkenal dari berbagai kalangan dilibatkan untuk memberikan testimoni. Hasilnya? Top 1 pun memperoleh penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai oli yang paling banyak digunakan selebriti.

Diakui Ryan yang baru bergabung dengan TAA setahun lalu, pendekatan komunikasi yang unik dan khas ala Top 1 ini menjadi salah satu kunci sukses produknya di Tanah Air. “Top 1 menciptakan cara bersaing baru. Istilahnya, dulu pertempuran hanya ada pada tingkat mekanis dan bengkel, sekarang pertempuran kami tarik langsung ke tingkat konsumen,” ujarnya. “Dengan tingkat awareness yang tinggi, konsumen seolah memiliki preferensi tersendiri dalam menentukan merek oli yang akan dipakainya,” lanjutnya.

Namun, sejalan dengan kesuksesannya, Top 1 pun harus menghadapi berbagai isu negatif di masyarakat. Ryan mengatakan, banyaknya isu yang beredar seputar produk Top 1 menandakan bahwa industri ini belum dewasa. Salah satu penyebab merebaknya isu-isu tersebut adalah kecemburuan melihat pesatnya pertumbuhan Top 1 di Indonesia. “Bayangkan, hanya dalam kurun 5 tahun, Top 1 yang awalnya bukan siapa-siapa berubah menjadi salah satu pemain utama di industri pelumas dan menguasai sekitar 20% pasar,” ungkapnya.

Jika ditelusuri lebih lanjut, isu-isu negatif seputar Top 1 kebanyakan berawal dari Internet (e-mail) dan rumor dari mulut ke mulut. Lewat dunia maya itulah, sejumlah isu itu menyebar ke berbagai komunitas otomotif dalam grup yang biasa disebut mailing list. Hasil penelusuran SWA menunjukkan, hampir semua mailing list kelompok otomotif mengeluarkan “fatwa haram” bagi Top 1 (baik berupa pendapat pribadi maupun pendapat resmi kelompok). Antara lain, mailing list Indonesian Corolla Club, Corolla-DX, Toyota-Corona, Toyota-Kijang, IDMOC (Indonesian Mitsubishi Owners Club), Mazda Club, Jakarta Peugeot Club, Honda Tiger Mailing List dan Yamaha RX Mania. “Belakangan modusnya semakin jelas, bahkan sudah ada yang terstruktur,” ujar Ryan geram.

Dalam catatannya, ada tiga hal yang banyak disinggung-singgung, yaitu produk, sintetis-nonsintetis dan buatan Amerika Serikat. Dalam isu-isu yang diembuskan itu, banyak yang menyangsikan kualitas Top 1. Menurut Ryan, isu tersebut muncul selain karena diembuskan kompetitor, juga karena pasar belum teredukasi dengan baik. “Industri ini masih baru, konsumen masih coba-coba dan belum teredukasi dengan benar. Makanya, isu tentang produklah yang diangkat terlebih dahulu.”

Ryan mengatakan, TAA bukanlah pemain baru di bisnis pelumas nasional. Perusahaan yang dinakhodai Rudy Hartono, juara All England 8 kali, ini hadir di Indonesia sejak 1979. “Kalau kualitas kami buruk,” tuturnya, “mungkin kami tidak akan berkembang seperti sekarang.”

Keberanian mengklaim bahwa Top 1 merupakan pelumas sintetis juga menjadi garapan penyebar isu. Maklum, pelumas sintetis identik dengan kualitas tinggi dan harga mahal. Namun, Top 1 memasang harga yang sangat terjangkau atau kompetitif dibandingkan dengan pelumas mineral. Ryan mengatakan, dengan berkembangnya teknologi, oli sintetis tidak hanya dapat diproduksi dengan polialfa olefin yang berasal dari minyak bumi, tapi juga dari bahan kimia. Top 1 menggunakan bahan dasar dari minyak bumi yang sudah disempurnakan, yaitu minyak bumi grup 2 dan grup 3. “Berdasarkan regulasi yang berlaku, dengan bahan grup 2 dan grup 3 sudah bisa mengklaim dirinya sintetis,” ia menjelaskan.

Kebenaran bahwa Top 1 asli AS juga menjadi isu yang tak kalah gencar disebarkan. Apalagi, setelah diperoleh fakta bahwa Top 1 sulit dijumpai di negeri asalnya. “Top 1 memang lebih banyak dipasarkan di luar AS,” ungkap Ryan.

Ia mengatakan, Top Oil Product – produsen Top 1 – memang bukan perusahaan yang membidangi eksplorasi tambang layaknya perusahaan-perusahaan lain, sehingga kredibilitas mereknya murni dibangun produk pelumasnya. Ini berbeda dari produk pelumas lain yang berlatar belakang bisnis eksplorasi, seperti Pertamina, Shell dan Chevron. “Untuk minyak bumi, Top Oil mengambil dari Chevron,” ujarnya.

Selain di Indonesia, menurut Ryan, Top 1 juga cukup kuat di negara-negara Amerika Latin, Thailand, Filipina, Malaysia, dan beberapa negara lain. “Memang paling kuat di Indonesia,” katanya. Namun, ini lebih karena faktor pasar Indonesia yang baru lepas dari belenggu, sedangkan di negara lain persaingan sudah ada sejak lama.

“Sah-sah saja Top 1 mengklaim made in USA meski diproduksi di sebuah kota kecil di Amerika (Serikat) sekalipun,” ujar Simon Jonatan, pengamat pemasaran yang juga CEO Brandmaker. Hal ini sama dengan barang yang diproduksi di desa kecil di Cirebon, misalnya. “Toh, barang itu tetap bisa mengklaim made in Indonesia.”

Ryan menuturkan, sejauh ini isu-isu yang berkembang tersebut belum sampai berpengaruh terhadap penjualan Top 1 di Indonesia. “Tahun ini merupakan penjualan tertinggi kami sepanjang sejarah,” ujarnya. Namun, sebagai upaya membangun citra perusahaan, TAA tetap merasa perlu mengonter berbagai isu tersebut.

Untuk membuktikan bahwa Top 1 memang benar diproduksi di AS, pertengahan tahun lalu TAA membawa grup musik kondang, Dewa, mengunjungi pabriknya di Burlingame, Kalifornia. Dari kunjungan itu, TAA meluncurkan iklan berjudul “Dewa First Visit to USA”.

Tidak berhenti sampai di situ, pertengahan 2005 TAA kembali memberangkatkan wartawan tiga grup media massa yang cukup berpengaruh di Tanah Air: Kelompok Kompas-Gramedia, Grup Jawa Pos dan Media Grup. Yang lebih ekstrem lagi, mulai tahun lalu TAA juga mencantumkan alamat Top Oil di AS pada kartu nama setiap karyawannya. “Sekarang era keterbukaan. Kami ingin terbuka bagi semua pihak,” Ryan menandaskan.

Simon menilai upaya yang dilakukan TAA untuk mengonter isu-isu negatif seputar produknya sudah tepat. “Setelah membawa Dewa, kemudian mereka bawa wartawan. Kedua-duanya cukup bisa dipercaya masyarakat. Tapi kalau mereka lebih berani lagi dan hebat, berani tidak mereka bawa kompetitor?” ujarnya menantang.

Iklan versi Dewa, menurut Simon, merupakan poin plus yang dilakukan TAA untuk mengonter isu. Ia berpendapat, oli merupakan produk massal, maka iklan – khususnya di televisi – merupakan pilihan tepat. “Memang agak mahal, tapi ini merupakan produk massal, dan TV merupakan media yang paling efektif. Selain itu, iklan itu juga sekaligus dapat digunakan untuk membangun brand.”

Jika isu-isu yang beredar tersebut tidak lekas dikonter TAA, masih menurut Simon, hal itu akan berdampak buruk bagi produknya. “Memang makan waktu lama, tapi jika tidak diantisipasi, dalam waktu 2-3 tahun bisa berbahaya bagi Top 1.”

Berbeda dari Simon, pengamat pemasaran yang juga Chief Operating Officer IBiI Consulting Darmadi Durianto menilai langkah yang dilakukan TAA cukup berlebihan. Dikatakan Darmadi, saat ini hanya sebagian kecil konsumen yang mengetahui isu negatif tersebut. Menurutnya, TAA seharusnya melakukan penelitian terlebih dulu, untuk mengetahui seberapa banyak konsumen yang sudah tahu akan isu itu. “Sayangnya, mereka tidak melakukan riset. Mereka memang tidak terlalu percaya dengan riset,” katanya. “Ibaratnya, mereka menembak sasaran yang tidak terlalu besar, tapi sumber daya yang dikerahkan cukup besar, jadi ada inefficiency.”

Seharusnya, lanjut Darmadi, TAA lebih fokus pada aktivitas kehumasan (public relations/PR), misalnya dengan memperbanyak publikasi yang menyatakan bahwa produknya benar-benar buatan AS. TAA harus bisa membangun persepsi di benak konsumen dengan menggelar kegiatan penting di dunia otomotif, yang bisa menunjukkan bahwa produknya berkualitas tinggi. “Intinya, mereka harus banyak melakukan aktivitas PR, khususnya untuk me-maintain salah satu asosiasi produknya bahwa mereka adalah buatan Amerika (Serikat),” katanya.

Ryan berujar, meski sudah berjalan dua tahun lebih, hingga kini TAA tidak merespons langsung pesaing-pesaingnya. “Kami kembalikan semua kepada konsumen. Mungkin kalau mau dibilang sebagai konter, print-ad kami yang terbaru secara tidak langsung merupakan sebuah jawaban,” ujarnya sambil memperlihatkan gambar print-ad Top 1, yang memamerkan berbagai penghargaan yang diraih selama ini.

Kini TAA berusaha memperkuat organisasi. Sejak tahun lalu TAA merestrukturisasi organisasi dengan memecah wilayah Indonesia menjadi 5 region yang membawahkan banyak area. Tujuannya, agar lebih cepat merespons berbagai isu yang berkembang. Dan, seiring dengan restrukturisasi yang dilakukan, tahun ini TAA mengadakan road show ke 100 kota, dengan mengumpulkan pemilik bengkel yang selama ini menjadi ujung tombak pemasaran Top 1. “Selain memperkenalkan regional manager, area manager dan distributor, kami juga melakukan presentasi tentang rencana ke depan yang akan kami tempuh,” ujar Ryan membeberkan.

Selain itu, TAA juga membuat departemen baru, Penasihat Teknis. Departemen ini berisikan orang-orang yang sangat kompeten dan berpengalaman di industri pelumas yang kebanyakan diambil dari kompetitor. “Ini juga merupakan langkah preventif yang kami lakukan,” ujarnya.

Ryan yakin, Top 1 akan terus berkembang di Indonesia. Apalagi, pasar pelumas masih menyimpan potensi yang sangat besar. “Kami lebih memilih melihat ke dalam ketimbang meladeni isu-isu tak sedap itu secara frontal,” ungkapnya. **

Setelah muncul di Majalah SWA edisi 23/2005, tulisan ini sempat menimbulkan protes dari pihak yang merasa dirugikan, seperti IDMOC dan Indonesian Corolla Club. Kepada kedua komunitas itu, kami sudah meminta maaf, khususnya kepada Saftari sebagai ketua IDMOC. Namun demikian, perlu penulis jelaskan, bahwa tulisan ini sangat independent dan tidak terkait pada kepentingan siapa pun. Tulisan ini hanya mencoba untuk menangkap salah satu kasus yang terjadi di dunia marketing di Indonesia. Angle tulisan serta analisa yang digunakan pun berdasarkan ilmu marketing.

14 pemikiran pada “Strategi Kehumasan Top 1 Menghalau Isu

  1. BAGAIMANA TENTANG KALIM BAHWA TOP1 ADALAH OLI NO 1 DI USA? NOMOR 1 APANYA? JANGAN JANGAN MUNCULNYA JAWABAN KONYOL: YANG NOMOR 1 YA TOP1-NYA? BAGAIMANA BUNG RUDY? BTH SUKSES UNTUK SAMPEAN CAK!

  2. Setahu saya Top 1 tidak pernah meng-klaim mereka no 1 di Amerika. Ini adalah berita pelintiran di Internet…. Ada yang bisa bantu nunjukin iklan atau pernyataan orang Top 1 yang menyatakan bahwa mereka no 1 di Amerika ?????? Silakan posting bukti/rekaman/pernyataan/release atau iklan Top 1 dari tahun berapa aja….
    Kalau cuma “katanya” yang disebarluaskan maka jelas aja kredibilitas berita di Internet jadi meragukan.

  3. @ Juve : Pertanyaan tersebut ditujukan kepada saya atau Kurniadi. Kalau kepada saya, Anda salah alamat, karena dalam artikel tersebut, saya tidak pernah menyebut Top 1 sebagai nomor 1 di amerika. Yang tersebut dalam artikel tersebut “Top 1, oli sintetik asli Amrik,”. Thanks

  4. Kalo memang mereka mengklaim bahwa produk mereka nomor 1, saya rasa benar ya soalnya kemarin pas di prj 2008 saya sempat ke stand mereka dan menonton liputan dari o blitz tentang pabrik mereka di AS.

  5. saya ingin mengadu kepada oli top1.
    saya merasa ditipu disalah satu bengkel disamarinda.
    di alamat e-mail mana saya bisa mengadukan keluhan saya?

  6. wah-wah,, mas Taufik sendiri pernah ke pabriknya tdk yg katanya di calipornia sana? jagan2 anda sdh di bayar oleh Top 1 untuk meracuni pikiran masyarakat. saya sendiri sudah ke sana ternyata itu sama skl bukan lah pabrik, melainkan gudang yg dibangun setelah Top 1 diragukan berasal dr amrik. Penghasil zat addiktif Lubrizon yg paling byk digunakan oleh pembuat pelumas termasuk Pertamina yg di amrik aza tak tau tu Top 1 pelumas dari mana (org amrik masa tak tau pelumas amrik?) ha2x…

  7. @ putra:
    waduh, nuduhnya kok gak enak gitu yah mas. coba deh dibaca sekali lagi artikelnya, harusnya gak nuduh sembarangan gitu, apalagi anda bilang pernah ke amrik, pastinya anda tergolong “lumayan” pinter. tapi kalo komen kek gitu, sorry mas, anda harus belajar lagi kaleeeeee (paling gak belajar baca, kekekeke)
    hayo, kalo ini “G” huruf apa?
    yang ini “O”?
    ini “B”?
    ini “L”?
    ini “O”?
    …dst

Tinggalkan Balasan ke juve Batalkan balasan