Bersaing di Pasar Superslim

HM Sampoerna kembali meluncurkan produk revolusioner: Avolution. Sekadar mengikuti tren, atau menciptakan tren?

A Mild. Siapa tak kenal merek rokok besutan PT HM Sampoerna Tbk. (HMS) itu. Walau awalnya dicibir, produk yang meluncur ke pasar sejak tahun 1989 itu akhirnya menjelma jadi raksasa dan memimpin di kategori yang dibentuknya, low tar nicotine (LTN). Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, LTN menjadi kategori yang pertumbuhannya paling tinggi dibanding kategori rokok lainnya.

Kehadiran A Mild menjadi catatan tersendiri bagi industri rokok nasional. Pasalnya, rokok ini tampil dengan diferensiasi sangat nyata dibandingkan dengan produk-produk yang ada sebelumnya. Sebab, produk ini tidak masuk dalam tiga kategori besar rokok yang ada saat itu, yaitu sigaret keretek tangan (SKT), sigaret keretek mesin (SKM) reguler, dan sigaret putih mesin (SPM). A Mild hadir dengan ukuran stick (batang) yang lebih kecil ketimbang rokok lainnya. Selain itu, kadar tar dan nikotin yang dikandung rokok ini juga jauh di bawah rokok lainnya, sehingga dianggap tidak cocok dengan pasar Indonesia. Tak heranlah, akhirnya HMS dibiarkan bermain sendiri di kategori ini tanpa mendapat “gangguan” dari pemain lain.

Akan tetapi, HMS berhasil menjungkalkan semua prediksi tersebut. A Mild – dengan upaya yang tidak ringan – berhasil tumbuh dan membentuk satu kategori baru di industri rokok nasional, yaitu SKM LTN. Dan dalam beberapa tahun terakhir, barulah kemudian pemain lain berlomba-lomba masuk ke kategori ini.

Belajar dari sukses A Mild, di awal tahun ini HMS kembali meluncurkan inovasi terbarunya, Avolution. Sama seperti A Mild, Avolution juga hadir dengan diferensiasi – khususnya dalam hal bentuk dan kemasan – yang sangat nyata. Stick rokok ini hanya berdiameter 5,41 mm dengan panjang 100 mm. Karena diameternya yang sangat kecil, rokok ini pun tidak masuk ke kategori yang ada. Hanya saja, karena kandungan tar dan nikotinnya sama dengan A Mild, maka Avolution hanya membentuk subkategori baru, yaitu SKM LTN superslim.

Sebenarnya, Avolution bukanlah yang pertama bermain di kategori superslim. Sebelumnya beberapa rokok impor juga sudah meramaikan pasar dengan menggarap kategori ini. Sebut saja merek Esse asal Korea, Capri (Eropa) dan More (Amerika Serikat). Hanya saja, semua rokok itu masuk ketegori rokok putih, yang pasarnya sangat kecil di Indonesia.

Toni Darusman, Manajer Merek HMS, menyebutkan HMS melihat ada potensi pasar yang belum tergarap dengan benar di kategori superslim. Bahkan, Toni mengklaim bahwa kategori ini memiliki potensi untuk merebut hingga 50% dari total pasar rokok nasional. “Walau saat ini pasarnya masih sangat kecil, potensinya untuk menjadi besar itu ada,” ia berujar.

Ada tiga alasan mengapa katagori superslim berpotensi besar. Pertama, rokok superslim telah menjadi bagian dari kehidupan modern, terutama dilihat dari bentuk, ukuran, dan kemasan rokok. Yang kedua, banyak konsumen yang ingin menunjukkan peduli dengan kesehatan. Mereka sadar, merokok tidak sehat, sehingga rokok superslim menjadi rokok untuk pergaulan sosial. Dan yang ketiga, kini tidak memungkinkan lagi merokok berlama-lama. Banyak tempat bebas dari asap rokok, sehingga rokok superslim lebih menguntungkan karena cepat habis.

Berbagai alasan itu, sehingga Toni memastikan, Avolution menyasar pasar perokok dewasa yang berjiwa modern, memiliki pemikiran maju dan berani menerima perubahan. Segmen pasar itu menurutnya cukup besar. “Segmen pasar ini belum tersentuh oleh pemain yang ada,” ujar Toni.

Dia menambahkan, walau tidak besar, kategori superslim akan eksis di pasar rokok nasional. Mungkin, merek ini sekarang belum melakukan kegiatan pemasaran sama sekali. Namun ke depan diperkirakan persaingan bakal semakin tajam. Apalagi, berdasarkan hasil riset terungkap bahwa konsumen rokok di Indonesia cenderung tidak hanya memiliki satu merek pilihan. “Mereka cenderung memiliki merek kedua bahkan merek ketiga, entah sebagai selingan atau occasional,” Toni menuturkan. Nah, peluang itulah yang coba ditangkap oleh HMS. “Ketimbang kedua atau ketiga produk itu adalah merek dari perusahaan lain, lebih baik kami ambil sendiri,” tambahnya.

Namun, Toni menyebutkan, untuk menjadi pilihan konsumen Avolution harus memiliki keunikan dibanding produk lainnya. Salah satu keunggulan yang dikedepankan Avolution adalah kualitas produk yang sama dengan A Mild. Rokok ini, lanjut Toni, memiliki reputasi yang sangat baik di pasar LTN. Kandungan tar dan nikotin Avolution pun sama persis dengan A Mild. “Nilai itu yang kami ambil dengan mengadopsi huruf A pada kemasan Avolution,” katanya.

Selain kualitas produk, Avolution menggunakan pula bentuk kemasan yang sangat unik. Berbeda dari kemasan rokok superslim lainnya, Toni menerangkan, bentuk kemasan yang unik merupakan salah satu daya tarik yang ditawarkan Avolution bagi calon konsumennya. “Kemasan seperti ini lebih handy (mudah digenggam – Red.),” ujarnya.

Dari sisi rasa, Toni menjelaskan, walau jauh lebih kecil, rasa yang ditawarkan Avolution tidak kalah dibanding A Mild. Bahkan, karena menggunakan rajangan tembakau yang lebih kecil, “tarikan” Avolution lebih mantap ketimbang A Mild. Menurut Toni, hal ini menjadi sangat penting sebab karakter perokok Indonesia lebih menyukai rokok yang tarikannya lebih berat. Hal ini pula yang membuat rokok putih sulit berkembang di Indonesia.

Saat ini, Avolution belum didistribusikan secara nasional. Baru 15 kota besar di Tanah Air yang dijangkau oleh rokok keretek superslim yang pertama di dunia ini, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Palembang. Penentuan coverage Avolution, dijelaskan Toni, juga didasarkan pada hasil riset bahwa daerah-daerah tersebutlah yang tingkat penerimaan konsumen terhadap produk baru lebih baik di banding daerah lain.

Tak hanya jumlah kota yang dibatasi, distribusi produk pun masih dilakukan dengan sangat selektif. Saat ini, fokus utama distribusi Avolution adalah gerai modern, sedangkan gerai tradisional yang digunakan masih sangat selektif. “Distribusinya masih sangat selektif. Jika dibanding A Mild, mungkin baru 10%-nya saja,” ujar pria yang sebelumnya menangani Sampoerna Hijau ini.

Karena distribusinya yang masih terbatas, Avolution pun menggunakan jalur promosi yang berbeda dibanding kebanyakan produk baru lainnya. Toni menuturkan, untuk tahap awal, Avolution lebih banyak mengandalkan viral marketing lewat website (www.a-volution.com) dan ajang below the line (BTL). Adapun komunikasi above the line yang dilakukan hanya sebatas billboard dan media cetak. “Kami tidak menggunakan TVC,” ungkapnya.

Bukan karena alasan keterbatasan bujet sehingga Avolution tidak menggunakan media televisi sebagai sarana komunikasi. Menurut Toni, strategi ini semata atas pertimbangan distribusi produk yang masih sangat terbatas.

Pengamat pemasaran yang juga konsultan Marktrend Andi K. Utomo, menyebutkan bahwa belakangan HMS menerapkan strategi serupa. “Mereka akan lebih fokus di distribusi lebih dulu, baru kemudian menggenjot iklan,” ujarnya. Namun, untuk jenis produk ini, menurut pria yang pernah berkarier di Philip Morris Indonesia itu, langkah tersebut kurang tepat. “Seharusnya TV dan event besar yang menjadi andalan.”

Melalui iklan di TV, lanjut Andi, akan sangat efektif mengajak konsumen untuk mencoba produk ini. Demikian pula dengan ajang besar yang melibatkan konsumen dalam jumlah besar. “Kalau hanya mengandalkan BTL, rasanya agak sulit,” kata Andi. Menurutnya, beberapa keunikan yang dimiliki Avolution sudah cukup menarik minat konsumen untuk mencoba. Dan, seharusnya itulah yang dikomunikasikan secara besar-besaran.

Toni tidak sependapat dengan Andi. Dia mengatakan, iklan TV menjangkau audience yang sangat luas. Ini berbanding terbalik dengan ketersediaan produk yang masih sangat terbatas. “Ini menyangkut ketersediaan produk dan menjaga kestabilan harga,” ujarnya. Pasalnya, jika iklan dilakukan secara besar-besaran, produk bisa “bergerak” ke daerah lain tanpa terpantau, sehingga harga juga tidak bisa dipantau.

Menurut Toni, harga memang menjadi satu kendala tersendiri bagi Avolution. Pihak manajemen HMS sendiri mematok harga konsumen yang sama dengan A Mild, Rp 9.000. Hanya saja, saat ini sebagian besar pengecer menjual dengan harga di atas harga A Mild. “Ini terkait dengan demand yang melebihi kapasitas produksi kami,” ujar Toni.

Sambutan konsumen terhadap Avolution, lanjut Toni, di luar perkiraan HMS. “Saat ini, penjualan Avolution 200% dari target,” katanya tanpa bersedia merinci lebih lanjut. Dan yang lebih mengejutkan, penjualan varian mentol yang mencapai 20%-25% dari total penjualan Avolution. “Cukup mengejutkan, pasalnya pangsa pasar rokok mentol itu kecil sekali, di bawah 10%. A Mild sendiri hanya 10% kontribusinya dari varian mentol,” kata Toni.

Belajar dari kasus A Mild, kali ini para pesaing utama HMS tidak lagi membiarkan HMS bermain sendiri dalam mengembangkan pasar kategori superslim. Langkah HMS ini langsung direspons dengan meluncurkan produk sejenis. Djarum melempar Djarum Black Slimz, sedangkan Gudang Garam meluncurkan Surya Slim.

Menurut Manajer Komunikasi Korporat PT Djarum Renitasari, kehadiran Djarum Black Slimz bertujuan untuk memperkuat segmen rokok slim di Tanah Air. “Kami mempersembahkan produk inovatif setelah menunggu selama dua tahun melalui proses yang matang dan teruji,” paparnya saat peluncuran produk ini pada medio April lalu.

Djarum Black Slimz juga tampil dengan diferensiasi yang nyata, yaitu menggunakan kertas hitam dengan diameter batang kecil 6,1 mm dan panjang 95 mm. Renitasari meyakini produknya bakal diterima pasar dengan baik, karena didesain dengan unik dan inovatif dibandingkan dengan kategori rokok sejenis. “Penampilan Djarum Black yang lebih ramping ini bukan berarti mengurangi kemantapan rasa. Justru kemantapan rasa dan tarikan yang lebih halus, menjadi andalan Djarum Black Slimz,” tutur Renita.

Berbeda dari Avolution yang tidak menggunakan TVC sebagai sarana propaganda, Djarum Black Slimz langsung menggebrak pasar dengan TVC yang cukup heavy. Djarum sepertinya ingin mengambil langkah lebih dulu ketimbang HMS yang menerapkan strategi yang berbeda.

Andi menerangkan, langkah produsen rokok untuk masuk ke kategori superslim tergolong cukup serius. Terlebih saat ini, ketiga pemain raksasa masuk secara hampir bersamaan. Fenomena ini merupakan hal yang wajar. Pasalnya, kategori rokok yang ada saat ini sudah cenderung stagnan. Untuk itu, dibutuhkan terobosan baru untuk membuat pasar kembali bergairah. Khusus bagi Gudang Garam, Andi menilai, produsen rokok asal Kediri ini harus lebih serius dalam mengembangkan pasar rokok kategori superslim. Alasannya, Gudang Garam sudah terbukti gagal dalam menggarap pasar LTN. “Jika di kategori ini mereka juga gagal, mungkin lebih baik dijual saja. Karena mereka terbukti tidak bisa menggarap pasar di luar pasar tradisionalnya,” ia berujar.

Menghadapi langkah cepat yang dilakukan oleh para pesaingnya, HMS menurut Toni tidak terlalu gusar. Semakin banyak pemain yang masuk ke kategori ini akan membuat ketegori ini semakin cepat berkembang. HMS sendiri sudah menyiapkan serangkaian rencana untuk pengembangan Avolution. “Ke depan kami akan melakukan join promo dengan A Mild. Produk ini masih satu keluarga, tapi keduanya akan tetap memiliki karakter sendiri-sendiri,” ungkap Toni.

Selain itu, HMS juga hendak melebarkan distribusi Avolution ke kota-kota lain. “Kami ingin lebih dulu kuat di kota-kota yang ada, baru kemudian melebarkan sayap ke kota-kota lainnya,” Toni menambahkan.

Artikel ini dimuat di Majalah SWA edisi 13/2008, Juni 2008

Tinggalkan komentar